Sabtu, 19 November 2011

Desain Instruksional

Desain Instruksional: Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran Berbasis TIK Jika Anda berfikir bahwa hanya diperlukan pelaku yang terlatih dan teknologi untuk membuat gedung, mungkin gedung itu tidak akan dapat berdiri dengan kokoh. Terdapat satu komponen yang merupakan kewajiban bagi para pembuat gedung, yakni cetak biru atau rancangan bagaimana mendesain, membangun, dan menjaga agar gedung tersebut berdiri dengan kokoh sesuai dengan apa yang direncanakan. Berkaitan dengan pembelajaran, kita memiliki pendidik yang telah terlatih memanfaatkan TIK dan teknologi yang mendukung pembuatan bahan ajar. Sama halnya dengan pembuatan gedung, pendidik yang terlatih dan teknologi tidak menjamin terlaksananya pembelajaran berbasis TIK. Diperlukan sebuah rancangan agar dapat melaksanakan pembelajaran berbasis TIK yang efektif. Rancangan tersebut dalam e-Learning atau pembelajaran berbasis TIK disebut dengan Instructional System Design (ISD) atau desain instruksional. Desain Instruksional adalah sebuah proses yang diperlukan dalam mendesain, mengembangkan, dan menerapkan kegiatan pembelajaran (Carliner, Ribeiro, & Boyd). Desain Instruksional merupakan suatu proses untuk memandu pelaku (aktor) untuk mendesain, mengembangkan, menerapkan konten e-Learning dengan memanfaatkan infrastruktur dan aplikasi e-Learning yang tersedia. Terdapat berbagai macam model desain instruksional, banyak model yang bermuara dari model ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Kelima tahapan tersebut merupakan panduan bagi para pembuat konten e-Learning agar dapat menciptakan sebuah pembelajaran yang efektif dan memperoleh hasil optimal. Di bawah ini adalah penjelasan mengenai model ADDIE dalam kaitannya dengan pembelajaran berbasis TIK atau e-Learning. Tahap Analysis (Analisis) Pada tahap analisis, pendidik menjadi penyelidik. Mencari tahu hal-hal berikut: • Apakah tujuan dari pembuatan bahan ajar berbasis TIK ini? • Apa tujuan pembelajaran yang hendak dicapai? • Pengetahuan apa saja yang telah dimiliki oleh peserta didik mengenai materi yang akan disampaikan? • Siapakah yang akan menggunakan bahan ajar berbasis TIK ini dan seperti apa karakteristik mereka? • Bagaimana cara penyampaiannya? • Dari segi pedagogis, apa yang perlu diperhatikan untuk pembelajaran online? • Sampai kapan batas waktu pengerjaan ini? Hasil akhir dari tahap analisis adalah pengetahuan mengenai kondisi awal dan informasi mengenai perencanaan seperti apa yang perlu dibuat. Tahap Design (Desain) Pada tahap desain, pendidik merupakan perencana. Pendidik mengambil seluruh informasi dari tahap analisis dan memulai proses kreatif dari merancang bahan ajar berbasis TIK untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pada tahap desain, pendidik mengidentifikasi materi dan sumber daya yang akan dibutuhkan, merancang kegiatan pembelajaran, menentukan bagaimana cara mengukur prestasi belajar peserta didik. Hasil akhir dari tahap desain adalah sebuah cetak biru (blueprint) atau storyboard pembelajaran berbasis TIK. Tahap Development (Pengembangan) Pada tahap pengembangan, pendidik adalah pencipta. Pendidik membuat dan menyusun materi pembelajaran sesuai dengan rancangan atau storyboard yang telah dibuat pada tahap desain. Sumber daya yang diperlukan seperti audio, video, grafis dan multimedia lainnya mulai dikemas dalam sebuah bahan ajar. Pada tahap ini pula dilakukan ujicoba bahan ajar yang telah dibuat kepada beberapa peserta didik untuk memperoleh umpan balik dari mereka. Hasil akhir dari tahap pengembangan ini adalah sebuah bahan ajar berbasis TIK. Tahap Implementation (Pelaksanaan) Pada tahap pelaksanaan, pendidik adalah fasilitator pembelajaran. Pendidik melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, membantu peserta didik belajar, menilai penampilan mereka, dan mengidentifikasi cara-cara untuk meningkatkan hasil belajar. Pada tahap ini pendidik membimbing peserta didik bagaimana menggunakan teknologi yang dipakai. Perlu dipastikan bahwa pada tahap ini semua teknologi yang dipakai harus dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tahap pelaksanaan ini bisa juga dikatakan sebagai tahap evaluasi dari tahap perencanaan. Pendidik perlu mencatat apa saja yang meningkatkan pembelajaran dan apa saja yang menghambat pembelajaran peserta didik dari bahan ajar yang telah dibuat. Hasil akhir dari tahap pelaksanaan adalah tentu saja terjadinya proses pembelajaran berbasis TIK yang efektif di dalam maupun di luar ruangan kelas. Tahap Evaluation (Evaluasi) Pada tahap ini pendidik merefleksikan dan merevisi apa yang telah dilakukan mulai dari tahap analisis, desain, pengembangan, dan pelaksanaan. Jika terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki, maka perlu diidentifikasi untuk kemudian disempurnakan. Terdapat dua bentuk evaluasi yakni evaluasi formatif, yang dilakukan pada masing-masing tahapan, serta evaluasi summatif untuk mengukur sampai seberapa jauh peserta didik mampu belajar dari bahan ajar berbasis TIK serta memperoleh umpan balik dari peserta didik. Hasil akhir dari tahap ini adalah laporan evaluasi dan revisi dari masing-masing tahap untuk digunakan sebagai acuan revisi masing-masing tahapan serta umpan balik secara keseluruhan dari bahan ajar yang telah dibuat. Pada gambar di atas terlihat bahwa hasil dari tahap evaluasi dipakai untuk merevisi tahap-tahap sebelumnya. Setiap perpindahan tahapan, dapat pula dilakukan penyesuaian untuk tahap sebelumnya. Desain instruksional merupakan proses dinamis yang dapat berubah-ubah sesuai dengan informasi dan evaluasi yang diterima. Semua perubahan yang dilakukan memiliki satu tujuan, yakni meningkatkan hasil pembelajaran peserta didik. Referensi: Carliner, S., Ribeiro, O., & Boyd, G. (In press). Educational technology. In N.J. Salkind, (Ed.), Encyclopedia of educational psychology. Newbury Park, CA: Sage. http://en.wikipedia.org/wiki/ADDIE_Model

MEMAHAMI PERILAKU dan KARAKTERISTIK AWAL SISWA

MEMAHAMI PERILAKU dan KARAKTERISTIK AWAL SISWA Oleh : Yudi Budiman PENGANTAR Pada suatu kegiatan belajar di sebuah ruang kelas, seorang guru mangawali dengan pernyataan: “Sekarang, mari kita buka buku kita pada halaman 33 dan kerjakanlah sepuluh soal yang ada di dalamnya. “Mendengar perintah itu seorang siswa menjawab: “Saya tidak tertarik mengerjakan soal.” Guru kemudian berkata: “Bukalah buku anda dan segeralah mulai mengerjakan soal!” Siswa yang namanya Jodi itu pun menyatakan bahwa ia membenci pelajaran matematika. Sang guru pun mempertegas perintahnya bahwa jika Jodi tidak memulai pekerjaannya maka ia akan memberi tambahan pekerjaan lainnya. Namun, Jodi tetap bersikeras tidak akan mengerjakan soal-soal tersebut. Peristiwa semacam itu sangat sering terjadi di lembaga-lembaga pendidikan kita. Tidak sedikit kesalahan yang sering dilakukan pendidik dan pengambil kebijakan akibat pemahaman yang tidak cermat mengenai hakekat peserta didik. Padahal kesalahan pendidik maupun pengambil kebijakan pendidikan akan berakibat sangat fatal yang tidak saja menyesatkan dan merugikan peserta didik secara individu, tetapi juga mengancam kualitas generasi baru di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, untuk dapat mencapai tujuan pendidikan yang ideal, pemahaman yang tepat mengenai karakteristik peserta didik mutlak diperlukan sejak awal. Dengan pemahaman mengenai karakteristik peserta didik yang tepat, upaya pencapaian tujuan pendidikan diharapkan dapat menjadi lebih efektif dan terarah. Hery Noer Ali dalam konteks pendidikan Islam memberikan pengertian yang lebih luas atas peserta didik, yaitu setiap manusia yang sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangan. Pada pengertian ini peserta didik tidak hanya dipandang sebagai anak yang sedang dalam pengasuhan dan pengasihan orang tua, dan bukan pula anak-anak dalam usia sekolah. Tetapi dimaknai sebagai manusia yang punya potensi untuk berkembang atau dikembangkan. Pengertian ini didasarkan atas tujuan pendidikan, yaitu manusia sempurna secara utuh, yang untuk mencapainya manusi berusaha terus menerus hingga akhir hayatnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa peserta didik sebagai manusia perlu dibimbing dan diarahkan melalui proses pendidikan. Dalam kontek pendidikan Islam secara sempit membatasi tujuannya pada kedewasaan peserta didik. Pendidikan dalam arti ini merupakan bantuan bimbingan yang diberikan pendidik terhadap peserta didik untuk mencapai kedewasaannya. Sejauh dan sebesar apa bantuan itu diberikan sangat dipengaruhi oleh pandangan pendidik terhadap kemungkinan peserta didik untuk dididik. Thomas Amstrong menyatakan bahwa semua anak adalah anak yang berbakat. Tiap-tiap anak terlahir ke dunia ini dengan potensi yang unik. Bila dipupuk dengan benar, dapat turut memberikan sumbangan bagi dunia yang lebih baik. Tantangan terbesar bagi para orang tua dan guru adalah menyingkirkan batu besar yang menghalangi jalan mereka dalam menemukan, mengembangkan, dan merayakan anugerah yang mereka miliki itu. Oleh karena itulah, maka dalam proses pencapaian tujuan pendidikan harus mengidentifikasi perilaku dan karakteristik peserta didik sejak awal dalam upaya membantu, membimbing, dan mengarahkan peserta pendidik agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan membawanya menuju kedewasaannya Berikut ini adalah beberapa pandangan pemikir pendidikan Islam mengenai peserta didik dan implikasinya dalam pendidikan yang dirangkum oleh Samsul Nizar. a. Peserta didik bukan miniatur orang dewasa. Ia memiliki dunianya sendiri. Implikasi dari pemahaman ini adalah bahwa dalam proses pendidikan tidak boleh disamakan dengan pendidikan orang dewasa. b. Peserta didik adalah manusia yang memiliki perbadaan dalam tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhannya. Oleh karena itu aktivitas pendidikan Islam harus disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang dialami peserta didik. c. Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun ruhani. Diantara kebutuhan dasarnya adalah kebutuhan biologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri dan aktualisasi diri. Hal ini perlu dipahami agar proses pendidikan dapat berjalan lancar. d. Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki berbagai perbedaan individual, baik karena faktor bawaan maupun lingkungan tempat tinggal. Pendidikan Islam harus memperhatijan faktor-faktor tersebut tanpa harus mengorbankan satu pihak. e. Peserta didik merupakan makhluk yang terdiri dari dua unsur utama: jasmaniah dan ruhaniah. Unsur jasmani berkaitan dengan fisik yang dapat dikembangkan melalui proses pembiasaan dan latihan. Sementara unsur ruhani berkaitan dengan daya akal dan daya rasa. Dapat dikembangkan melalui proses intelektualisme yang menekankan pada ilmu-ilmu rasional, dan daya rasa dapat dikembangkan melalui pendidian akhlak dan ibadah. Impilkasi pemahaman ini adalah bahwa pendidikan harus memandang peserta didik secara utuh dari tidak mengutamakan salah satu potensi saja, tapi semua daya dikembangkan dan diarahkan secara integral dan harmonis. f. Peserta didik adalah makhluk Allah yang telah dibekali potensi fitrah yang perlu dikembangkan secara terpadu. Fungsi pendidikan dalam hal ini adalah membantu dan mendidik peserta didik agar dapat mengembangkan dan mengarahkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, tanpa harus mengabaikan fungsi-fungsi kemanusiaannya. Pemahaman mengenai hakekat peserta didik di atas berfungsi sebagai landasan filosofis untuk menerapkan proses pendidikan yang berorientasi pada peserta didik (student-oriented), dan tidak lagi pada materi pelajaran (subject matter-oriented), juga bukan pada guru (teacher oriented). Dengan demikian, maka pendidikan hendaknya berorientasi pada pengembangan anak didik dalam rangka memelihara dan mengembangkan martabat kemanusiaan dan budayanya. Jika pendidikan berorientasi pada peserta didik, maka dalam proses pendidikan kedudukannya dipandang subyek pendidikan, bukan sebagai obyek pendidikan. Akhirnya, dalam rangka pengelolaan pengajaran serta dalam proses pencapaian tujuan pendidikan, seorang pendidik perlu memahami karakterisitk anak didik sejak awal dengan melihat ciri-cirinya yang khusus sebagai individu, baik dari segi fisik ataupun psikis dalam pertumbuhan dan perkembangannya sebagai makhluk yang dinamis Serta dalam upaya membantu, membimbing, dan mengarahkan peserta pendidik agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan membawanya menuju kedewasaannya. Daftar Pustaka 1.Abdul Munir Mulkan, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosifis Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 86. 2.Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.133. 3.Elissiti Julaihah (ed), Helping Your Children Doing Their Homework, (Yogyakarta: Curista, 2004), hlm. 44. 4.Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis sa Praktis, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), hlm. 48-50.

Mengembangkan Strategi Intruksional Pembelajaran

Mengembangkan Strategi Intruksional Pembelajaran Oleh : Yudi Budiman Peningkatan layanan pendidikan, khususnya di kelas erat kaitannya dengan usaha guru dalam merancang pengajaran dan pengembangannya melalui strategi pembelajaran. Menurut Sudjana sebagaimana dikutip oleh Rohani mengatakan bahwa strategi belajar mengajar adalah taktik yang digunakan dalam proses belajar mengajar agar dapat mempengaruhi siswa untuk mencapai tujuan pengajaran secara efektif dan efisien. Sesuai dengan paradigma strategi belajar mengajar mengacu kepada konsep pembelajaran yang berubah dari pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa. Agar pelaksanaan strategi dapat berjalan dengan baik guru harus selektif dalam memilih suatu kerangka konsep penerapannya yaitu model pembelajaran. Model pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: tujuan, bahan, kemampuan guru, dan kondisi siswa. Sebagai pendidik, guru harus menguasai model yang akan diterapkannya dan tidak terpaku pada satu model pembelajaran. Model pembelajaran yang digunakan guru harus membangun sarana interaksi pengajaran induktif, menempatkan peserta didik pada keterlibatan aktif belajar dan mempertinggi perolehan hasil belajar. Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan, hal ini perlu didukung oleh kemampuan guru dan bahan ajar yang telah disampaikan dengan keadaan siswa. Dalam pembelajaran, guru sebagai pendidik menginginkan agar siswanya dapat memahami pengetahuan pelajaran yang dimiliki sebagai hasil belajarnya, berpikir kritis dalam menanggapi persoalan dan menerapkan di lingkungan masyarakat sebagai wujud aplikasinya. Sayangnya, impian tersebut terkadang tidak terealisasi. Hal itu disebabkan kesulitan guru dalam memilih model pembelajaran terkadang kurang tepat atau hanya menggunakan satu model pembelajaran dalam mengajar. Efektivitas belajar yang dilakukan oleh siswa di sekolah tidak semata-mata ditentukan oleh derajat potensi siswa yang bersangkutan, melainkan lingkungan, terutama guru yang profesional. Pengembangan belajar masuk dalam kategori untuk menjadikan pembelajaran itu menjadi efektif. Pengembangan pembelajaran adalah cara yang sistematis dalam mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi seperangkat bahan dan strategi pembelajaran yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Hasil akhir pengembangan pembelajaran adalah diperolehnya sistem pembelajaran yang memudahkan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Bahwa pengembangan sumber daya manusia berkualitas yang mampu mengantar Indonesia ke posisi terkemuka paling tidak sejajar dengan negara-negara lain, baik dalam pembangunan ekonomi, politik, maupun sosial budaya, pada hakekatnya menuntut komitmen kita untuk dua hal: a) penemukenalan dan pengembangan bakat-bakat unggul dalam berbagai bidang, dan b) pemupukan dan pengembangan kreativitas yang pada dasarnya dimiliki setiap orang, tetapi perlu dikenali dan dirangsang sejak usia dini. Sehubungan dengan itu pendidik perlu disiapkan dan dilatih agar memiliki kompetensi profesional untuk membina anak berbakat dan mengajar secara kreatif. Daftar Pustaka 1.A. Rohain, Pengelolaan Kelas (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 32. 2.Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 36. 3.Prof. Dr. Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, cet. 3 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), hal. 1.